Inilah Bacaan Dzikir Ibnu Taimiyah Yang Berasal dari Kaum Sufi, Bid’ah Tapi Ampuh
Bacaan dzikir Ibnu Taimiyah yang berasal dari kaum sufi ini menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak anti sufi atau tasawuf. Ibnu Taimiyah adalah pengamal tasawuf. Lalu, seperti apa bacaan dzikir Ibnu Taimiyah yang berasal dari kaum sufi tersebut?
Belakangan ini, pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah (w. 728 H) ramai dibicarakan oleh banyak orang. Ini menjadi antitesa terhadap gambaran tentang Ibnu Taimiyah sebelumnya. Gambaran sebelumnya dinilai sudah tidak tepat lagi karena Ibnu Taimiyah tidak sepenuhnya memusuhi tasawuf atau kaum sufi, karena pada saat yang sama ia juga menunjukkan apresiasinya pada tasawuf atau para sufi yang menempuh jalan sesuai syari’at.
Apresiasi Ibnu Taimiyah pada tasawuf atau kaum sufi sebenarnya bukan sebatas pada pemikiran. Faktanya, Ibnu Taimiyah juga memiliki amalan dzikir yang umum dipraktikkan oleh kaum sufi, termasuk waktu dan jumlah bilangannya. Berikut dzikirnya,
يَاحَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha illa Anta.
Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Berdiri Sendiri,
tiada tuhan selain Engkau
Dalam kitabnya Madarijus Salikin (1:446), Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), murid terdekat Ibnu Taimiyah, mengabarkan bahwa Ibnu Taimiyah sangat menyukai bacaan dzikir ini, karena dua nama “al-Hayyu al-Qayyum” memberi pengaruh yang besar terhadap hidupnya hati
Ibnu Qayyim juga menuturkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, siapa yang rutin membaca
يَاحَيُّ يَا قَيُّومُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ
Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa Anta Birahmatika Astaghitsu
Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Berdiri Sendiri,
tiada tuhan selain Engkau, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan
Sebanyak empat puluh kali setiap hari di waktu antara fajar dan shalat subuh, maka hati yang hidup telah diperolehnya, dan hatinya tidak akan mati
Ibnu Qayyim juga menuturkan bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, siapa yang rutin membaca “Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa Anta Birahmatika Astaghitsu” sebanyak empat puluh kali setiap hari di waktu antara fajar dan shalat subuh, maka hati yang hidup telah diperolehnya, dan hatinya tidak akan mati.
Jika dipahami secara seksama, al-Qur`an dan hadis sebenarnya tidak memberi penjelasan rinci tentang jumlah dan waktu membaca dzikir seperti ini. Dalam al-Qur`an seperti terdapat dalam Qs. Ar-Ra’d 13:28;
اَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوبُ
Ingatlah, dengan mengingat Allah hati bisa tenteram.
Demikian juga hadis, seperti hadis riwayat Abu Daud no. 1495 berikut;
Dari Anas, ia bersama Rasulullah yang sedang duduk, dan ada lelaki yang sedang shalat dan kemudian berdoa:
اللهُمَّ إِنِّي أَسأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الحَمْدَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ المَنًانُ بَدِيْعُ السَّمَاواتِ وَالأَرْضِ، يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ.
[Mendengar itu,] Rasulullah mengatakan, “sungguh ia telah berdoa pada Allah dengan [menyebut] nama-Nya yang Agung, yang ketika berdoa dengan [menyebut] nama tersebut Allah akan mengijabahi, dan ketika [Allah] diminta dengan [menyebut] nama tersebut Allah akan memberi.”
Ibnu Qayyim sendiri tidak menjelaskan dari mana Ibnu Taimiyah memperoleh resep dzikir tersebut, terutama berkaitan dengan jumlah (40 kali) dan waktu bacanya (setiap hari dan antara waktu fajar-shalat subuh). Sebelum menjelaskan perkataan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim hanya mengawalinya dengan kalimat berikut,
“Dari pengalaman para salik yang teruji dan terbukti kebenarannya adalah bahwa siapa yang membiasakan membaca “Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa Anta”, maka itu akan berdampak pada hati yang hidup, demikian juga akalnya.” (Madarijus Salikin, 1:446)
Pernyataan Ibnu Qayyim tersebut memiliki indikasi kuat bahwa resep bacaan Ibnu Taimiyah memiliki keterkaitan erat dengan, atau bahkan diadopsi dari, tradisi kaum sufi. Terlebih, hal ini didukung oleh dua fakta.
Pertama, selain Ibnu Taimiyah, dzikir yang dibaca empat puluh kali dan dibaca di waktu antara fajar dan shalat subuh pada umumnya lebih banyak dipraktikkan oleh kaum sufi atau masyarakat yang dekat dengan tradisi sufi. Dalam al-Anwar al-Qudsiyah (h. 85), Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani (w. 973 H) mengatakan bahwa sekelompok pengikut tarekat setiap harinya membaca empat puluh kali “Ya Hayyu Ya Qayyum La Ilaha Illa Anta” sebelum shalat subuh.
Di Indonesia, bacaan dzikir ini sudah tidak asing lagi, apalagi di masjid-masjid yang masih aktif melantunkan shalawat dan puji-pujian sebelum menunaikan shalat fardhu berjamaah. Pada umumnya, dzikir yang dibaca sebelum shalat subuh adalah Ya Hayyu Ya Qayyum, seperti yang masih terjadi rutin di masjid desa saya.
Kedua, secara historis, awal mula Ya Hayyu Ya Qayyum dibaca empat puluh kali adalah berasal dari Abu Bakar al-Kattany. Ia merupakan seorang sufi besar dari Baghdad yang meninggal di Makkah pada tahun 322 H. Ia dikenal sebagai seorang yang zuhud dan banyak ibadah. Saking banyaknya, dalam Siyar A’lam Nubala’ (14: 535) dikabarkan bahwa dalam sekali tawaf ia pernah melakukan hingga 12 ribu kali.
Meski sudah banyak ibadah, al-Kattany terbilang memiliki tingkat kekhawatiran dan kewaspadaan yang sangat tinggi sekali. Salah satunya adalah ia tidak mau jika tiba-tiba hatinya menjadi mati, karena ketika hati mati kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan menjadi kabur.
Kekhawatiran al-Kattany tersebut tercermin dalam salah satu mimpinya yang bertemu Rasulullah. Tidak mau menyia-nyiakan pertemuan itu, al-Kattany meminta didoakan oleh Rasulullah supaya selalu memiliki hati yang hidup dan tidak mati. Rasulullah pun langsung menyuruh al-Kattany untuk membaca “Ya Hayyu Yaa Qayyum La Ilaha Illa Anta” sebanyak empat puluh kali setiap hari, supaya hatinya tidak mati dan bisa memiliki hati yang hidup.
Kisah mimpi ini masyhur dalam berbagai literatur seperti Thabaqat al-Auliya` (h. 123) al-Anwar al-Qudsiyah (h. 86), Man Ra`a an-Nabi (h. 153). Dan yang lebih penting, sejauh ini hampir tidak ada yang meragukan kebenaran mimpi al-Kattany, termasuk pesan dalam mimpinya yang berisi ketentuan membaca dzikir “Ya Hayyu Yaa Qayyum La Ilaha Illa Anta” sebanyak empat puluh kali.
Imam Syatibi (w. 790 H) misalnya, salah satu pakar bid’ah, ia memberi komentar penting terkait mimpi ini dalam karya masyhurnya al-I’tisham (2:78-9/2:93-94). Kata Imam Syatibi,
“ini adalah kalam yang bagus, tidak ada keraguan terhadap kebenarannya. Perihal dzikir tersebut bisa menghidupkan hati adalah benar secara syara’, sementara mimpi itu sendiri berfungsi sebagai pengingat atas kebaikan sekaligus berita gembira. Adapun tentang bacaan dzikir yang dibaca empat puluh kali, selama tidak dipandang, diterima, atau dilakukan sebagai sebuah kewajiban, maka sudah benar”.
Dengan kekuatan kebenaran mimpi ini, maka sampai sejauh ini bisa disimpulkan bahwa resep dzikir Ibnu Taimiyah untuk menghidupkan hati sangat dimungkinkan diperoleh atau diadopsi dari tradisi sufi. Tidak mungkin resep tersebut hanya asal coba sementara Ibnu Taimiyah memiliki tradisi baca lintas pemikiran yang sangat kuat.
Penulis Aflahal Misbah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar