Islam secara kaffah belakang semarak didengungkan. Islam secara kaffah diterjemahkan oleh sebagian orang dengan kembali ke Al-Quran dan hadits, bahkan penerapan hukum Islam atau negara Islam. Meskipun kita bisa saja bertanya hukum Islam dan negara Islam dalam madzhab siapa dan era siapa. Istilah Islam kaffah atau berislam secara kaffah berasal dari Surat Al-Baqarah ayat 208 sebagai berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya,
“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,”
(Surat Al-Baqarah ayat 208). Awalnya, ayat ini turun perihal Abdullah bin Salam bersama para sahabatnya yang berasal dari Yahudi Bani Nadhir di Madinah. Meskipun sudah memeluk Islam, mereka masih terpengaruh oleh norma-norma agama Yahudi seperti penghormatan terhadap hari Sabtu dan keharaman daging unta. Sikap setengah-setengah ini yang ditegur oleh Allah SWT sebagai keterangan Syekh Wahbah Az-Zuhayli berikut ini:
يا أيها المؤمنون ادخلوا في الإسلام بكليته دون تجزئة أو سالموا، واعملوا بجميع أحكامه فلا تنافقوا واحذروا وساوس الشيطان ولا تطيعوا ما يأمركم به إنه عدو ظاهر العداوة لكم. أخرج الطبراني أن هذه الآية نزلت في عبد الله بن سلام وأصحابه من اليهود لما عظموا السبت وكرهوا الإبل بعد قبول الإسلام فأنكر عليهم المسلمون
Artinya,
“Wahai orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam seluruhnya, bukan sebagian-sebagian, atau berdamailah, dan beramallah sesuai dengan semua hukumnya. Jangan bersikap munafik. Waspadalah bisikan setan. Jangan kalian ikuti apa yang diperintahkan setan karena ia adalah musuh yang jelas-jelas memusuhimu. At-Thabarani meriwayatkan bahwa ayat ini turun perihal Abdullah bin Salam dan sahabatnya dari kalangan Yahudi ketika mereka mengagungkan hari Sabtu dan enggan terhadap daging unta setelah mereka memeluk Islam. Tetapi sikap mereka diingkari oleh para sahabat rasul lainnya,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, At-Tafsirul Wajiz, [Damaskus, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], halaman 33).
Kata islam pada Surat Al-Baqarah ayat 208 ini tidak ada. Yang ada adalah kata ‘as-silmi’. Kata ini yang selanjutnya diartikan sebagai agama Islam sebagaimana keterangan Syekh M Jamaluddin Al-Qasimi berikut ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ-بكسر السين وفتحها مع إسكان اللام، فيهما قراءتان سبعيتان-أي: في الإسلام. قال امرؤ القيس بن عابس: فلست مبدلاً بالله رباً ولا مستبدلاً بالسلم ديناً ومثله قول أخي كندة: دعوت عشيرتي للسلم لما رأيتهم تولوا مدبرينا
Artinya,
“Kata ‘as-silmi’ dibaca fathah atau kasrah pada huruf sin dan sukun pada lam. Keduanya merupakan bacaan qiraah sab’ah. Maksudnya adalah Islam. Umru’ul Qais bin Abis mengatakan dalam syairnya, Aku tidak mengganti Allah sebagai tuhan/juga tidak mengganti Islam sebagai agama. Akhi Kandah juga mengatakan, Aku mengajak keluargaku pada Islam/ketika aku melihat mereka berpaling dari kita,” (Lihat M Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, [tanpa keterangan kota dan nama penerbit: 1957 M/1376 H], juz I, halaman 513).
Imam Ar-Razi mencoba awalnya melacak arti kata ‘silmi’ dan ‘al-islam’. Menurutnya, makna kata ‘silmi’ dan ‘al-islam’ adalah ketundukan dan kepatuhan itu sendiri. Dari makna itu, pengertian kedua kata itu lalu berkembang menjadi agama Islam
. قال الرازي: أصل هذه الكلمة من الانقياد. قال الله تعالى: إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ [البقرة: 131]. والإسلام إنما سمي إسلاماً لهذا المعنى. وغلب اسم السلم على الصلح وترك الحرب. وهذا أيضاً راجع إلى هذا المعنى، لأن عند الصلح ينقاد كل واحد لصاحبه ولا ينازعه فيه. ومعنى الآية: ادخلوا في الاستسلام والطاعة، أي استسلموا لله وأطيعوه ولا تخرجوا عن شيء من شرائعه: كَآفَّةً حال من الضمير في ادخلوا
Artinya,
“Ar-Razi mengatakan bahwa asal kata ini bermakna tunduk dan patuh. Allah berfirman, ‘Ketika Tuhannya berkata kepadanya, ‘Tunduklah kamu.’ Ia menjawab, ‘Aku tunduk kepada Tuhan sekalian alam,’ (Surat Al-Baqarah ayat 131).’
Islam dinamai demikian karena sesuai dengan makna tersebut. Kata ‘silmi’ dominan mengandung makna damai dan tidak berperang. Ini juga merujuk pada makna tersebut. Pasalnya, dalam situasi damai, setiap pihak tunduk pada pihak lain. Tiada satupun pihak yang menentang dalam situasi ini. Pengertian ayat ini seolah berbunyi, ‘Masuklah ke dalam kepasrahan dan ketaatan, yaitu berserahlah dan taatlah kepada Allah. Jangan kalian keluar sedikitpun dari syariatnya. Sedangkan kata ‘kaffah’ merupakan hal dari dhamir pada kata ‘udkhulu’,” (Lihat M Jamaluddin Al-Qasimi, Mahasinut Ta’wil, [tanpa keterangan kota dan nama penerbit: 1957 M/1376 H], juz I, halaman 513). Sedangkan kata ‘kaffah’ berarti seluruhnya tanpa kecuali.
Kedudukan nahwu (tata bahasa Arab) kata ‘kaffah’ pada kalimat ini adalah hal. Oleh karenanya, ia dibaca manshub yang ditandai fathah di akhir kata. Setiap hal mengandung shahibul hal. Dengan kata lain, kata kaffah ini merupakan hal dari kata apa? Ulama berbeda pendapat perihal ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa shahibul hal kata ‘kaffah’ adalah ‘fis silmi’. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa shahibul hal kata ‘kaffah’ adalah ‘udkhulu’ sebagaimana pendapat Ar-Razi yang dikutip oleh M Jamaluddin Al-Qasimi dalam tafsirnya di atas. Apa pentingnya mencari shahibul hal dari kata ‘kaffah’?
Konsekuensi atas pilihan shahibul hal yang berbeda juga berimbas pada perbedaan terjemahan atas ayat tersebut. Kalau kita memilih kata ‘udkhulu’ sebagai shahibul hal dari kata ‘kaffah’, maka terjemahan ayat tersebut berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu semua tanpa kecuali ke dalam Islam. Tetapi, kalau kita memilih kata ‘fis silmi’ sebagai shahibul hal dari kata ‘kaffah’, maka terjemahan ayat tersebut berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam seutuhnya.” Perbedaan penerjemaah keduanya tentu memiliki implikasi logika yang berbeda.
Dan, penerjemahan terhadap ayat bukanlah penerjemahan tunggal karena bergantung dari pilihan penerjemah dalam menentukan shahibul hal kata ‘kaffah’. Hal dan shahibul hal merupakan istilah teknis dalam ilmu nahwu atau tata bahasa Arab. Pengetahuan terkait ilmu nahwu di sini merupakan satu dari sekian kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh mereka yang mencoba untuk memahami atau sekurangnya menerjemahkan Al-Quran (termasuk juga hadits) karena Al-Quran itu sendiri berbahasa Arab. Wallahu a‘lam. (Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar