Abu Bakar Ash-Shiddiq bukanlah nama yang asing di telinga umat Islam, baik di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) maupun kelompok-kelompok Islam lain yang ada. Abu Bakar dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dan menjadi orang kepercayaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Meski nama yang familiar, tidak serta merta semua orang tahu siapa Abu Bakar. Dalam pelbagai literatur keislaman, Abu Bakar digambarkan sebagai sosok yang lembut namun tetap tegas terlebih jika ada kemaksiyatan di sekitar lingkungannya. Ia juga digambarkan sebagai pribadi yang memiliki banyak sifat-sifat mulia.
Bahkan, Rasulullah memberikan kabar gembira untuk Abu Bakar bisa memasuki pintu Surga manapun yang ia inginkan. Hal itu tak terlepas dari betapa Abu Bakar menjadi orang yang selalu berusaha beramar makruf dan nahi munkar semasa hidupnya. Menurut Sejarawan Prof Masud Ul Hasan, Abu Bakar lahir pada tanggal 27 Oktober 573 masehi. Ia memiliki nama asli Abdullah bin Usman bin Amir bin Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taim bin Murrah bin Ka’b bi Lu’ai bin Ghalib bin Fihr.
Fihr ini tidak lain adalah Quraisy, yang kemudian menjadi salah satu nama suku paling dihormati di lembah Hijaz, khususnya di Mekkah.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath Al-Bari mengatakan, Ali bin Abu Thalib menyatakan, Allah menurunkan nama untuk Abu Bakar dari langit yaitu Ash-Shiddiq. Ali sendiri bersumpah akan pernyataannya ini.
Kisah lain menyebutkan, nama Ash-Shiddiq menjadi gelar bagi Abu Bakar karena ia menjadi orang yang pertama kali membenarkan kisah Isra Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang kemudian Miraj ke Sidratul Muntaha, di mana saat itu banyak kalangan suku Quraisy yang meragukan bahkan mendustakannya.
Abu Bakar tergolong dalam kelompok Assabiqun Al-Awwalun atau kelompok orang yang mula-mula masuk ke dalam Islam. Ia berasal dari kalangan orang dewasa yang pertama kali mempercayai dan mengimani Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah.
Dalam beberapa kesempatan, Abu Bakar sering terlibat dalam urusan bersama Rasulullah di kala duka maupun suka, termasuk saat keduanya hendak berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah, sekarang). Meski orang-orang Quraisy siang malam mengejar Rasulullah dan Abu Bakar, keduanya akhirnya selamat sampai di Madinah.
Menjadi Khalifah
Sejarawan Utsman bin Muhammad Al-Khamis mengisahkan, ketika kabar wafatnya Rasulullah diumumkan, Abu Bakar baru datang dari Sanh, sebuah daerah dekat Madinah. Kemudian ia membuka penutup wajah Rasulullah dan mencium keningnya seraya berkata, “Ayah dan ibuku sebagai tebusan. Engkau adalah orang suci, baik ketika masih hidup maupun setelah wafat.”
Lalu, Abu Bakar menutup wajah Rasulullah kemudian berdiri dan naik ke atas mimbar. Ia menyadarkan orang-orang yang saat itu dalam kebimbangan. Dalam pidatonya yang cukup terkenal, Abu Bakar mengatakan,
“Siapa saja di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwasanya Muhammad telah meninggal. Dan siapa saja di antara kalian yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwa hanya Allah Maha hidup tidak akan pernah mati,” kata Abu Bakar seraya membacakan firman Allah Surat Ali-Imron [3] ayat 144.
Mendengar ucapan Abu Bakar, mulailah para sahabat menangis terisak-isak. Mereka keluar ke jalan-jalan seraya mengulang-ulang ayat tersebut.
Salah seorang sahabat Nabi, Anas bin Malik mengatakan, “Seolah-olah kami belum pernah mendengar ayat ini kecuali saat itu.” Menurut Imam Bukhari, Al-Quran telah sempurna pada zaman Rasulullah sebelum wafat. Walaupun demikian ayat ini seolah-olah baru bagi para sahabat, disebabkan dahsyatnya musibah wafatnya Nabi.
Abbas bin Abdul Muthalib, Ali bin Abu Thalib dan Fadhl bin Abbas yang dibantu para sahabat lainnya memandikan dan mengkafani Rasulullah. Kemudian Rasulullah disalatkan dan dikebumikan. Pengurusan jenazah Nabi seperti itu karena Abbas adalah paman beliau, sementara Ali dan Fadhl adalah sepupu. Maka, merekalah yang paling berhak mengurus jenazah Nabi.
Pada saat Ali, Abbas dan Fadhl sibuk mengurus jenazah Rasulullah, beberapa orang dari kalangan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah.
Menurut Imam Bukhari, mereka berkumpul untuk menghadap Sa’d bin Ubadah di Saqifah untuk mengangkatnya menjadi pemimpin mereka. Maka Abu Bakar bersama Umar bin Al-Khattab dan Ubaidah bin Al-Jarrah mendatangi mereka.
Saat Umar hendak maju untuk berbicara, Abu Bakar menyuruhnya diam. Umar menuturkan, “Demi Allah, aku berinisiatif angkat bicara lebih dahulu karena telah mempersiapkan perkataan yang bagus. Aku khawatir apa yang dikatakan Abu Bakar tidak seperti perkataan yang telah kupersiapkan.”
Ternyata, Abu Bakar berbicara dengan lugas dan jelas. Di antara yang dikatakannya adalah orang-orang Quraisy yang akan menjadi para pemimpin dan orang-orang Anshar yang menjadi para penasehatnya.
Salah seorang Anshar, Hubab bin Al-Mundzir menyela, “Demi Allah, kami tidak setuju. Kami mengangkat pemimpin kami dan kalian juga silahkan mengangkat pemimpin kalian.”
Abu Bakar menanggapi, “Tidak demikian, tetapi kami yang menjadi pemimpin dan kalian yang menjadi pada penasehatnya. Merekalah (Quraisy) orang-orang Arab yang paling mulia tempat tinggalnya (Mekkah), mereka juga suku yang paling mewakili Arab asli. Maka baiatlah Umar atau Abu Ubaidah!.”
Mendengar hal itu, Umar berseru kepada Abu Bakar, “Tidak, tetapi kami-lah yang akan membai’at engkau. Engkaulah pemimpin kami, orang yang terbaik di antara kami dan orang yang paling dicintai Rasulullah di antara kami.”
Selepas berbicara, Umar memegang tangan Abu Bakar dan membai’atnya. Lalu orang-orang yang hadir pun berdiri dan membai’at Abu Bakar. Al-Khamis sendiri menegaskan, kisah ini lebih mendekati fakta yang terjadi saat itu.
Menurut Mahmud Syalthut, seorang ulama besar dari Universitas Al-Azhar Kairo, pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, pusat-pusat pendidikan bukan hanya terdapat di Mekkah dan Madinah, melainkan juga sudah tersebar di pelbagai daerah Islam lainnya.
Di masa kepemimpinan Abu Bakar pula pendidikan menjadi salah satu hal yang sangat diperhatikan. Sebab, pendidikan Islam menjadi kebutuhan di tengah masyarakat. Adapun lembaga-lembaga pendidikan yang digunakan masih sama seperti zaman Rasulullah, yaitu Masjid, Ash-Shuffah, Al-Kuttab dan rumah-rumah para sahabat.
Secara keseluruhannya, sistim pendidikan Islam kala itu bukanlah sesuatu yang datang dari luar atau kebudayaan-kebudayaan yang lama, akan tetapi dalam perkembangan dan pertumbuhannya mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan Islam secara umum.
Di lembaga-lembaga pendidikan Islam itulah para sahabat memberikan pelajaran mengenai agama Islam kepada muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang datang dari tempat lain.
Setelah memimpin umat Islam selama kurang lebih dua setengah tahun, Abu Bakar Ash-Shiddiq mengembuskan nafas terakhir pada tanggal 23 Agustus 634 masehi, tepat pada usia 61 tahun di kota Madinah. Ia wafat karena sakit dan dimakamkan di sebelah makam Rasulullah. (A/R06/P1)
Sumber:
تعرف على أبو بكر الصديق عن كثب
أبو بكر الصديق ليس اسمًا غريبًا على آذان المسلمين ، سواء بين نهضة العلماء (NU) والمحمدية والوحدة الإسلامية (فارس) وغيرها من الجماعات الإسلامية القائمة. عُرف أبو بكر بأنه كان مقربًا جدًا من رسول الله شال الله عليه وسلم وأصبح من المقربين منه.
على الرغم من أن الاسم مألوف ، إلا أنه لا يعرف الجميع من هو أبو بكر. في الأدبيات الإسلامية المختلفة ، يوصف أبو بكر بأنه شخصية لطيفة لكنها حازمة خاصة عندما يكون حوله فجور. كما يوصف بأنه شخص يتمتع بالعديد من الصفات النبيلة.
في الواقع ، أعطى النبي بشرى سارة لأبي بكر حتى يتمكن من دخول أي باب في الجنة يريده. وهذا لا ينفصل عن كيفية تحول أبو بكر إلى شخص حاول دائمًا أن يأمر بالخير والشر في حياته. وفقًا للمؤرخ البروفيسور مسعود الحسن ، وُلد أبو بكر في 27 أكتوبر 573 م. اسمه الحقيقي عبد الله بن عثمان بن أمير بن عمرو بن كعب بن سعد بن تيم بن مرة بن كعب بلؤي بن غالب بن فهر.
لم يكن هذا الفهر سوى قريش ، التي أصبحت فيما بعد واحدة من أكثر الأسماء القبلية احتراما في وادي الحجاز ، وخاصة في مكة المكرمة.
قال ابن حجر العسقلاني في فتح الباري ، قال علي بن أبي طالب ، أنزل الله اسم أبا بكر من السماء وهو الصديق. علي نفسه يقسم بهذا البيان.
وهناك قصة أخرى تقول إن اسم الصديق أصبح لقبًا لأبي بكر لأنه كان أول من أكد قصة إسراء النبي محمد شالله عليه وسلم من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى ثم المعراج إلى سدرة المنتهى حيث في في ذلك الوقت كان هناك العديد من أفراد قبيلة قريش الذين شككوا في ذلك بل وأنكروا ذلك.
ينتمي أبو بكر إلى جماعة السبقين الأولون أو جماعة الأشخاص الذين اعتنقوا الإسلام أولاً. لقد جاء من بين الكبار الذين آمنوا بمحمد أولاً وآمنوا به كنبي ورسول لله.
في عدة مناسبات ، غالبًا ما كان أبو بكر متورطًا في التعامل مع النبي في أوقات الحزن والفرح ، بما في ذلك عندما أراد الاثنان الهجرة من مكة إلى يثرب (المدينة المنورة ، الآن). على الرغم من أن قريش طاردت النبي وأبو بكر ليل نهار ، فقد وصل كلاهما أخيرًا بسلام إلى المدينة المنورة.
كن خليفة
يروي المؤرخ عثمان بن محمد الخميس ، أنه عندما أُعلن نبأ وفاة الرسول ، كان أبو بكر قد وصل لتوه من منطقة سنه القريبة من المدينة المنورة. ثم كشف وجه الرسول وقبّل جبهته قائلا: أبي وأمي فدية. أنت قديس ، سواء كنت على قيد الحياة أو بعد الموت. "
ثم غطى أبو بكر وجه النبي ثم قام وصعد إلى المنبر. لقد جعل الأشخاص المشكوك فيهم في ذلك الوقت يدركون. قال أبو بكر في خطابه الشهير:
"أي أحد منكم يعبد محمد ، فاعلم أن محمدا قد مات. قال أبو بكر وهو يقرأ كلمة الله في سورة علي إمرون [3] الآية 144: `` ومن عبد الله منكم فاعلم أن الله وحده هو الذي لا يموت ''.
عند سماع كلام أبو بكر ، بدأ الأصدقاء في التنهد. نزلوا إلى الشوارع يرددون الشعر مرارًا وتكرارًا.
قال أحد أصحاب النبي أنس بن مالك: كأننا لم نسمع بهذه الآية إلا في ذلك الوقت. وبحسب الإمام البخاري ، كان القرآن كاملاً في زمن النبي قبل موته. ومع ذلك ، تبدو هذه الآية جديدة على الصحابة ، بسبب فداحة موت النبي.
عباس بن عبد المطلب ، وعلي بن أبي طالب ، وفضل بن عباس ، يساعدهم أصدقاء آخرون ، اغتسلوا وكفنوا النبي. ثم صلى النبي ودفن. وكان تدبير جسد الرسول هكذا لأن عباس كان عمه وعلي والفضل أولاد عم. لذا فهم هم الأكثر استحقاقاً للعناية بجسد الرسول.
بينما كان علي وعباس وفضل مشغولين بالعناية بجسد الرسول ، تجمع العديد من الأنصار في سقيفة بني سعيدة.
وبحسب الإمام البخاري ، فقد اجتمعوا للقاء سعد بن عبادة في السقيفة لتعيينه قائداً لهم. فجاء عليهم أبو بكر مع عمر بن الخطاب وعبيدة بن الجراح.
عندما كان عمر على وشك التقدم للتحدث ، قال له أبو بكر أن يصمت. فقال عمر: والله بادرت بالحديث أولاً لأني أعددت كلاماً طيبًا. كنت قلقة من أن ما قاله أبو بكر لن يكون مثل الكلمات التي أعددتها ".
والظاهر أن أبو بكر تحدث بصراحة ووضوح. ومن بين أولئك الذين قالهم قريش الذين سيصبحون القادة والأنصار الذين سيصبحون مستشاريه.
قاطعه أحد الأنصار ، حباب بن المنذر ، "والله لا نتفق. نحن نعيّن قادتنا ونرحب بك أيضًا لتعيين قيادتك ".
أجاب أبو بكر: ليس الأمر كذلك ، ولكن نحن القادة وأنتم المستشارون. كانوا (قريش) من أنبل العرب حيث عاشوا (مكة) ، وكانوا أيضًا القبيلة الأفضل تمثيلًا للعرب الأصليين. فبايعوا عمر أو أبي عبيدة! "
ولما سمع ذلك ، نادى عمر على أبي بكر: "لا ، ولكننا نبايعك. أنتم قائدنا خيرنا ومن أحب رسول الله بيننا ".
وبعد حديثه أمسك عمر بيد أبي بكر وبايعه. ثم قام الحاضرون وبايعوا أبي بكر. وأصر الخميس على أن هذه القصة أقرب إلى الحقائق التي حدثت في ذلك الوقت.
وفقًا لمحمود شالثوت ، الباحث الكبير من جامعة الأزهر في القاهرة ، خلال خلافة أبو بكر الصديق ، لم تكن المراكز التعليمية موجودة في مكة والمدينة فحسب ، بل انتشرت أيضًا في مختلف المناطق الإسلامية الأخرى.
أثناء قيادة أبو بكر ، أصبح التعليم أيضًا أحد الأشياء التي كانت مهتمة للغاية. لأن التربية الإسلامية ضرورة في المجتمع. لا تزال المؤسسات التعليمية المستخدمة كما كانت في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وهي المسجد والشفة والكتاب وبيوت الصحابة.
بشكل عام ، لم يكن نظام التعليم الإسلامي في ذلك الوقت شيئًا يأتي من ثقافات خارجية أو قديمة ، ولكن في تطوره ونموه كان له علاقة وثيقة بالحياة الإسلامية بشكل عام.
في هذه المؤسسات التعليمية الإسلامية ، يعطي الأصدقاء دروسًا عن الإسلام لطلابهم ، سواء من السكان المحليين أو الذين يأتون من أماكن أخرى.
بعد قيادة الجالية الإسلامية لمدة عامين ونصف تقريبًا ، لفظ أبو بكر الصديق أنفاسه الأخيرة في 23 أغسطس 634 م ، عن عمر يناهز 61 عامًا في مدينة المدينة المنورة. مات بسبب المرض ودفن بجانب قبر النبي. (A / R06 / P1)
مصدر:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar