Sejarah Islam di Indonesia


Umat Islam Indonesia tengah membaca Al Quran setelah menunaikan salat di Masjid Istiqlal, Jakarta. Indonesia memiliki jumlah umat Islam terbesar di dunia


Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar umat Muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan ada sekitar 87,18% atau 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, tetapi Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam.

Sejarah awalSunting

Artikel utama: Penyebaran Islam di Nusantara


Peta persebaran Islam di Indonesia

Peta Indonesia berkisar tahun 1674-1745 oleh Katip Çelebi seorang geografer asal Turki Utsmani. Penyebaran Islam menurut sejumlah catatan

Menurut Thomas Walker Arnold, sulit untuk menentukan bilakah masa tepatnya Islam masuk ke Indonesia. Hanya saja, sejak abad ke-2 Sebelum Masehi orang-orang Ceylon telah berdagang dan masuk abad ke-7 Masehi, orang Ceylon mengalami kemajuan pesat dalam hal perdagangan dengan orang Cina. Hinggalah, pada pertengahan abad ke-8 orang Arab telah sampai ke Kanton.[1] Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkan teori masuknya Islam dalam tiga teori besar. Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. Mereka berargumen akan fakta bahwa banyaknya ungkapan dan kata-kata Persia dalam hikayat-hikayat Melayu, Aceh, dan bahkan juga Jawa.[2] Selain itu pula, temuan Marco Polo juga menyatakan sebagai dampak interaksi orang-orang Perlak di Sumatera Utara, mereka telah mengenal Islam. Selama masa-masa ini, dinyatakan oleh Van Leur dan Schrieke, bahwa penyebaran Islam lebih terbantu lewat faktor-faktor politik alih-alih karena niaga.[3] Pandangan lain dari AH Johns dan SQ Fatimi menyebutkan penyebaran Islam bertumpu pada imam-imam Sufi yang cakap dalam soal kebatinan, dan bersedia menggunakan unsur-unsur kebudayaan pra Islam dan mengisinya kembali dengan semangat yang lebih Islami.[4] Melalui Kesultanan Tidore yang juga menguasai Tanah Papua, sejak abad ke-17, jangkauan terjauh penyebaran Islam sudah mencapai Semenanjung Onin di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.


Kalau ahli sejarah Barat beranggapan bahwa Islam masuk di Indonesia mulai abad 13 adalah tidak benar, Abdul Malik Karim Amrullah berpendapat bahwa pada tahun 625 M sebuah naskah Tiongkok mengkabarkan bahwa menemukan kelompok bangsa Arab yang telah bermukim di pantai Barat Sumatra (Barus).[5] Pernyataan yang hampir senada dikemukakan Arnold, bahwa mungkin Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad-abad awal Hijriah. Meskipun kepulauan Indonesia telah disebut-sebut dalam tulisan ahli-ahli bumi Arab, di dalam tarikh Cina telah disebutkan pada 674 M orang-orang Arab telah menetap di pantai barat Sumatera.[6]


Pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan (644-656 M), memerintahkan mengirimkan utusannya (Muawiyah bin Abu Sufyan) ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam.[7] Namun menurut Hamka sendiri, itu terjadi tahun 42 Hijriah atau 672 Masehi.[8]


Pada tahun 718 M raja Srivijaya Sri Indravarman setelah pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717 - 720 M) (Dinasti Umayyah) pernah berkirim surat dengan Umar bin Abdul Aziz sekaligus berikut menyebut gelarnya dengan 1000 ekor gajah, berdayang inang pengasuh di istana 1000 putri, dan anak-anak raja yang bernaung di bawah payung panji. Baginda berucap terima kasih akan kiriman hadiah daripada Khalifah Bani Umayyah tersebut.[9] Dalam hal ini, Hamka mengutip pendapat SQ Fatimi yang membandingkan dengan The Forgotten Kingdom Schniger bahwa memang yang dimaksud adalah Sriwijaya tentang Muara Takus, yang dekat dengan daerah yang banyak gajahnya, yaitu Gunung Suliki. Apalagi dalam rangka bekas candi di sana, dibuat patung gajah yang agaknya bernilai di aana. Tahun surat itu disebutkan Fatemi bahwa ia bertarikh 718 Masehi atau 75 Hijriah. Dari situ, Hamka menepatkan bahwa Islam telah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriah.[10]


Selain itu, fakta yang juga tak bisa diabaikan adalah bahwa adanya kitab Izh-harul Haqq fi Silsilah Raja Ferlak yang ditulis Abu Ishaq al-Makrani al-Fasi yang berasal dari daerah Makran, Balochistan menyebut bahwa Kerajaan Perlak didirikan pada 225 H/847 M diperintah berturut-turut oleh delapan sultan.[11]


Bukti lain memperlihatkan telah munculnya Islam pada masa awal dengan bukti Tarikh Nisan Fatimah binti Maimun (1082M) di Gresik.[12]


Untuk menjelaskan bagaimana metode penyebaran Islam di Indonesia, Arnold mengutip catatan yang dikutip dari C. Semper bahwa para pedagang Muslim menggunakan bahasa dan adat istiadat orang tempatan. Setelah mengadakan pernikahan dengan orang setempat, pembebasan budak, maka ia mengadakan perserikatan dan tak lupa tetap memelihara hubungan persahabatan dengan golongan aristokrat yang juga telah mendukung kebebasannya.[6] Para pedagang ini, tidaklah datang sebagai penyerang, tidak pula memakai pedang, ataupun memakai kelas atas guna menekan kawula-kawula rakyat. Namun dakwah dilakukan dengan kecerdasan, dan harta perdagangan yang mereka punya lebih mereka utamakan untuk modal dakwah.[6]


Selama masa-masa abad pertengahan ini, pedagang-pedagang Muslim turut memberi andil dalam bertumbuhnya perdagangan dan kota-kota yang terlibat di sana. Bersamaan dengan kegiatan dagang orang Tionghoa dari Dinasti Ming, Gresik, Malaka, dan Makassar berubah dari kampung kecil menjadi kota-kota besar dengan penduduk 50 ribu jiwa. Begitupun untuk Aceh, Patani, dan Banten.[13]

Masa kolonialSunting


Anak-anak mengaji Al Quran di Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda


Pada abad ke-17 masehi atau tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, tetapi pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini. Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.


Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu. Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang. Potensi-potensi tumbuh dan berkembang pada abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan. Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda.


Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh. Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, di antara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatra Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.[14].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar