Al-Hadid Ayat-3

Tafsir Surat Al-Hadid Ayat-3


هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَٱلْءَاخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

huwal-awwalu wal-ākhiru waẓ-ẓāhiru wal-bāṭin, wa huwa bikulli syai`in ‘alīm

Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin, 
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Tafsir :
Apa makna dari sifat-sifat yang Allah sebutkan bagi diri-Nya dalam ayat ini? Maka tidak ada yang bisa menjelaskan sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اللهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ، وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

“Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Zahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu (di atas-Mu). Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu. Ya Allah, lunaskanlah utang-utang kami dan bebaskanlah kami dari kefakiran.”([1])
Al-Awwal

Istilah lain Al-Awwal orang zaman sekarang adalah ‘azali. Al-Awwal maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala ada tanpa didahului oleh ketiadaan. Berbeda dengan makhluk-Nya, semuanya dimulai dari ketiadaan lalu menjadi ada. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Zakaria ‘alaihissalam,

وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا

“Sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.” (QS. Maryam : 9)

Dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya, menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bersama Allah pada zaman ‘azali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain,

كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ

“Allah telah ada dan tidak ada yang bersama-Nya sebelumnya.”([2])

Jadi di zaman ‘azali Allah Subhanahu wa ta’ala sendirian, lalu kemudian Dia menciptakan sesuatu. Dan jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka Allah akan katakan “Kun” maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya tersebut.
Al-Aakhir

Al-Akhir maksudnya tidak ada sesuatu pun setelah Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala abadi, dan sebagian makhluk akan diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya adalah penghuni surga dan penghuni neraka atau surga dan neraka. Akan tetapi keabadian mereka tidak seperti keabadian Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Allah abadi karena Dzat-Nya sendiri, adapun mereka abadi karena diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga jika sekiranya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengabadikan mereka maka mereka tidak akan abadi. Sama halnya ketika kita mengatakan bahwa Allah Maha Hidup dan manusia juga hidup, akan tetapi kehidupan manusia disebabkan karena Allah yang menghidupkan, adapun Allah Subhanahu wa ta’ala Dia Maha Hidup karena Dzat-Nya.

Sebagian Ahli Bid’ah mengatakan bahwa “akhirat tidak kekal”, karena jika akhirat kekal berarti sama dengan kekekalan Allah. Bahkan baru-baru ini ada orang yang menulis buku berjudul “Ternyata akhirat tidak kekal”. Maka jawabannya adalah berbeda, Allah Subhanahu wa ta’ala kekal karena konsekuensi Dzat-Nya sebagai Tuhan, adapun makhluk dikekalkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan makhluk seperti manusia didahului dari ketiadaan lalu menjadi ada kemudian mati, lalu dibangkitkan dan kemudian dikekalkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga kekekalan makhluk tidak sama dengan kekekalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Az-Zahir

Az-Zahir artinya Allah Yang Maha Unggul atau Yang Maha Atas, dan tidak ada sesuatu pun di atas Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentunya sifat Allah Subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi dan Dia tidak butuh dengan tempat. Berbeda dengan Ahlul Bid’ah, mereka menganggap bahwa jika Allah berada di atas maka menunjukkan bahwa Allah butuh dengan tempat. Maka kita katakan bahwa pernyataan tersebut salah, karena bukan berarti Allah di atas kemudian menganggap bahwa Allah butuh dengan tempat, kecuali langit lebih besar daripada Allah bahkan menaungi Allah, maka barulah kita katakan Allah Subhanahu wa ta’ala butuh dengan tempat. Akan tetapi kenyataannya alam semesta ini sangat kecil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berkata tentang hari kiamat,

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar : 67)

Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan tempat. Bahkan dalam ayat yang lain menunjukkan bahwa langitlah yang butuh kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا

“Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 41)

Oleh karenanya pemikiran mereka yang menganggap bahwa sesuatu yang di atas pasti butuh kepada sesuatu yang di bawah membuat mereka menolak akidah Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas. Akan tetapi pemikiran yang seperti ini sering kita bantah. Di antara bantahannya adalah tidak berarti yang di atas menunjukkan butuh kepada yang di bawah, dan yang di atas tidak berarti menempati yang di bawah. Contohnya adalah langit dan bumi, langit lebih di atas daripada bumi, akan tetapi langit lebih besar dan tidak butuh kepada bumi. Maka jika di antara makhluk saja telah menunjukkan bahwa bukanlah keharusan yang di atas butuh kepada yang di bawah atau yang di atas lebih kecil daripada yang di bawah, maka terlebih lagi antara Allah dan makhluk-Nya, Dia yang menciptakan alam semesta namun Allah tidak butuh kepada alam semesta untuk menaungi-Nya. Namun demikianlah Ahlul Bid’ah, mereka menolak Allah di atas karena memisalkan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan makhluk, padahal itu adalah kesalahan yang fatal
Al-Bathin

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Allah adalah Al-Bathin dan tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya. Para ulama menyebutkan bahwa maknanya adalah Allah Maha Mengetahui segalanya dan tidak ada yang terbathinkan (tersembunyikan) bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sesuatu pun.

Ketika Allah memiliki kempat sifat di atas (Al-Awwal, Al-Aakhir, Adz-Dzhahir, dan al-Bathin) menunjukan Allah mengetahui segala sesuatu. Karena jika Allah bukan al-Awwal berarti ada sesuatu sebelum Allah yang Allah tidak mengetahui tentangnya. Demikian juga jika Allah bukanlah al-Aakhir, maka ada sesuatu yang setelah Allah yang Allah tidak tahu tentangnya. Jika Allah bukanlah adz-Dzahir tentu ada sesuatu yang di atas Allah yang Allah tidak pernah sampai kepadanya dan tidak pernah mengetahui tentanganya. Dan jika Allah bukan al-Bathin tentu ada perkara-perkara yang halus tersembunyi yang Allah tidak mengetahui tentangnya. Tatkalah Allah meliputi menguasai semua zaman (dari azali hingga abadi) dan meliputi semua tempat (dari yang tinggi hingga yang terendah dan tersembunyi) maka berarti Allah mengetahui dan menguasai segalanya, karena semua makhluk tidak lain berada diantara interval zaman dan interval tempat tersebut.

Karenanya setelah menyebut 4 sifat di atas maka Allah tutup ayatNya dengan firmanNya

وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid : 3)

Dan ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu sangatlah banyak, diantaranya :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfudzh).” (QS. Al-An’am : 59)

Lihatlah, setiap daun yang jatuh berguguran pun Allah tahu tentangnya karena daun tersebut adalah ciptaan-Nya, padahal berapa banyak jumlah pohon di bumi ini? Tentu tidak ada yang bisa menghitungnya, bagaimana lagi dengan jumlah daun di bumi ini? Namun Allah mengetahui tentang kondisi setiap daun di bumi ini, hal ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ

“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui apa yang Dia ciptakan?” (QS. Al-Mulk : 14)

Maka jika benda-benda mati seperti daun saja Allah Subhanahu wa ta’ala tahu tentangnya, maka bagaimana lagi dengan kita manusia yang memang dibebankan untuk syariat dan diuji untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka? Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala tahu secara detail tentang diri kita. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada (manusia).” (QS. Ghafir : 19)

Dari pembahasan ini, terdapat bantahan terhadap orang-orang filsafat yang mereka sesat dalam tiga perkara, dan mereka telah dibantah oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali([3]) dalam kitabnya Tahaafut Al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalaal. Al-Ghazali mengatakan bahwa orang-orang yang belajar filsafat([4]) sesat dalam dua puluh kesalahan. Tiga dari kesalahan-kesalahan tersebut menyebabkan mereka kafir, dan tujuh belas kesalahan lainnya membuat mereka menjadi Ahlul Bid’ah. Tiga kesalahan utama mereka adalah,

Pertama, Ahli Filsafat mengatakan bahwa manusia dibangkitkan pada hari kiamat hanyalah ruh tanpa jasad, karena yang mendapatkan pahala dan siksaan hanyalah ruh. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan ayat-ayat Alquran yang sangat banyak, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ، قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ

“Dan dia (orang-orang kafir) membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadian mereka. Mereka berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah (Muhammad), ‘Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk’. ” (QS. Yasin : 78-79)

Seakan-akan tidak masuk dalam logika orang-orang yang belajar filsafat bahwa jasad manusia beserta tulang-tulangnya yang sudah hancur lebur dapat dikembalikan sebagaimana bentuk asalnya. Akan tetapi kita mengatakan bahwa tentunya hal yang seperti itu mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan Al-Ghazali mengatakan bahwa hal ini telah cukup untuk mengafirkan mereka para filsuf karena pernyataan mereka tersebut menjadikan mereka mengingkari banyak ayat yang menyebutkan bahwa manusia dibangkitkan jasad dan ruhnya.

Kedua, Ahli Filsafat mengatakan bahwa alam itu qadim (‘azali) bersama Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala telah ada bersama makhluk-Nya (alam) di zaman ‘azali, dan pendapat seperti ini bertentangan dengan firman-firman Allah dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa makhluk itu ada setelah ketiadaan. Pendapat mereka tersebut melazimkan bahwa bukan hanya Allah yang ‘azali, akan tetapi makhluknya juga ‘azali, bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa planet-planet juga ‘azali bersama Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dengan sebab ini mereka juga dikafirkan.

Ketiga, Ahli Filsafat mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya tahu tentang makhluknya secara global, dan tidak tahu secara terperinci. Di antara para fisluf tersebut adalah Ibnu Sina yang menggunakan logikanya dengan mengatakan bahwa banyak perkara-perkara buruk yang terjadi di alam semesta ini yang tidak pantas untuk masuk dalam ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala. Contohnya adalah seorang laki-laki yang berzina dengan wanita, atau seseorang yang buang air besar, dan hal buruk lainnya([5]). 

Dari kesimpulan itu mereka beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengetahui tentang segala kejadian di alam semesta secara global. Ketahuilah bahwa keyakinan seperti ini sangatlah berbahaya, karena yang benar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Bukankah telah jelas firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfudzh).” (QS. Al-An’am : 59)

Inilah contoh mengapa bahayanya seseorang menggunakan akalnya hingga mengedepankan akalnya daripada dalil-dalil.

Oleh karena itu, dengan tiga sebab inilah Al-Ghazali mengafirkan para Ahli Filsafat. Dan tentunya tiga keyakinan para Filsuf tersebut adalah keyakinan yang menyimpang, karena pendapat mereka tersebut menafikan Maha Agungnya Allah Subhanahu wa ta’ala.

___________________

Footnote :

([1]) HR. Muslim no. 2713

([2]) HR. Bukhari no. 7418

([3]) Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi, pengarang kitab Ihya’ ‘Ulumuddin

([4]) Al-Ghazali mengkhususkan kepada Ibnu Sina dan Al-Farabi


أَجْوِبَةُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ اِبْنِ تَيْمِيَّةَ عَنِ الشُّبْهَاتِ التَّفْصِيْلِيَّةِ لِلْمُعَطِّلَةِ فِي الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ

Jawaban-jawaban Ibnu Taimiyyah atas syubhat-syubhat terperinci para penolak sifat yang berkaitan dengan sifat-sifat Dzatiah Allah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar