Mengenal Diri Sebelum Masuk Ramadhan

Oleh: Prof.Dr. Imam Suprayogo Malang Indonesia

Bukankah yang perlu dikenal itu adalah orang yang belum pernah ketemu, atau orang yang berada di luar sana. Mengapa diri sendiri juga harus dikenal. Sehari-hari setiap orang telah merasakan keberadaan dirinya. Atas kesadaran itu, maka sehari-hari dirinya dirawat, diurus, dan dijaganya. 

Sebagai bagian dari merawat itu, siapa saja jika merasa lapar, maka segera makan, jika merasa cepek segera beristirahat, jika merasa sakit segera ke dokter, jika merasa kedinginan segera mencari baju atau selimut, dan seterusnya. Lalu apa lagi yang perlu dikenali. Lebih-lebih dikaitkan dengan bulan Ramadhan yang sebentar lagi segera tiba. 

Memang menyangkut dirinya sendiri, semua orang telah tahu dan menyadarinya. Tetapi apakah pengetahuan tersebut telah cukup memadai ketika orang di bulan Ramadhan diingatkan kembali istilah iman, puasa, dan taqwa. Pengertian tersebut tidak tertuju pada hal-hal yang bersifat fisik, tetapi rupanya menyangkut hal yang bukan fisik. 

Yang diseru untuk menjalankan puasa adalah iman. Siapa sebenarnya iman itu. Apakah iman tertuju pada tubuh manusia yang tampak atau bisa dilihat ini. Tentu, bukan. Kalau benar bukan, lalu siapa sebenarnya yang diseru dengan sebutan iman itu. Iman biasa dipahami dengan pengertian percaya. Lalu siapa yang disebut telah percaya. Percaya kepada siapa ?

Sementara orang ada yang mengartikan kata iman, bukan sebagaimana umumnya, yaitu percaya, tetapi adalah kepercayaan. Disebutkan bahwa iman itu adalah ism masdar, ialah menunjuk kata benda. Maka artinya adalah kepercayaan. Lalu sebenarnya, siapa yang dimaksud dengan kepercayaan itu. Kepercayaan siapa ? 

Kepercayaan itu tidak lain adalah ruh. Karena itu semua orang berhak disebut iman. Karena itu, semua manusia memperoleh seruan berpuasa di bulan Ramadhan. Pengertian yang demikian itu bukan sebatas terhadap orang yang mengaku dirinya sebagai telah beriman. Sementara bsgi yang lain bukan bagian yang diseru berpuasa.

Selanjutnya, yang perlu diperjelas, sebenarnya puasa itu apa. Boleh-boleh saja puasa diartikan secara sederhana, misalnya mencegah makan, minum, dan hubungan suami isteri di siang hari. Jika berpuasa hanya dimaknai seperti itu, anak kecil pun bisa berpuasa. Puasa menjadi sangat ringan. Tetapi nyatanya terdapat hadits nabi bahwa tidak sedikit orang berpuasa tidak memperoleh apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

Peringatan tersebut menunjukkan bahwa difinisi puasa tersebut belum mencukupi. Harus dijelaskan siapa sebenarnya yang berpuasa dan apa yang dipuasakan. Yang berpuasa adalah iman dan tentu yang dipuasakan adalah kekuatan yang berperan menggangunya. Selama sebulanm penuh, kekuatan yang selalu pengganggu iman harus dipuasakan untuk meraih derajad mulia di sisi Allah, yaitu taqwa.

Istilah taqwa sendiri juga bukan berupa benda yang bisa diamati, diraba, dan bahkan dirasakan. Taqwa ini adalah bersifat abstrak. Orang taqwa adalah orang yang bersama dengan yang ghaib-ghaib. Karena itu taqwa sendiri juga ghaib, artinya tidak bisa dilihat. Diterangkan bahwa yang ghaib itu adalah Allah, malaikat, kitab, para nabi dan rasul, termasuk qodho’ dan qodar serta hari akhir.

Melihat beberapa pengertian tentang iman, puasa, dan juga taqwa tersebut maka sebenarnya berbicara puasa adalah berbicara tentang sesuatu yang ghaib. Jika demikian, yang berpuasa dan yang dipuasakan pun adalah bersifat ghaib pula.

Akhirnya puasa bukan sekedar mencegah makan, minum, hubungan suami isteri di siang hari, melainkan aktifitas meningkatkan kualitas diri yang sebenar-benar diri. Diri yang sebenar diri itu, disebut dengan iman, berada di dalam dada setiap manusia. Kepercayaan Allah yang kelak diharapkan bisa berhasil kembali, atau roji’un, ke tempat semula, atau bertauhid kepada Allah dan rasulNya. Hal demikian bisa dipahami, jika manusia mengenal diri yang sebenar-benar dirinya. Wallahu a’lam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar